+44(0) 1234 567 890 info@domainname.com

Thursday, 6 February 2014

ABDULLAH IBN UMAR RA. :: Sahabat Rasul, Sahabat Malam [Bahagian 2/2]

2/06/2014 11:28:00 pm

Share it Please
...dari bahagian 1
 

Syahid setelah Mengingatkan Penguasa.
Namanya tak kalah terkenal dibanding ayahandanya, Umar ibn Khattab.
 
Ia lahir di Mekah, 10 tahun sebelum Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10 tahun, Abdullah cilik ikut ayahnya berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat terpelajar di Madinah, di masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang tumbuh menjadi pusat pemikiran Islam pasca masa Nabi SAW.
 
Kegairahan Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di kalangan penuntut ilmu-ilmu Islam, karena ia mendalami segi ajaran Islam yang saat itu kurang memperoleh perhatian serius. Yakni tradisi atau hadis Rasulullah saw. Menurut para periwayat, Abdullah mendapatkan inspirasi luar biasa karena ia tinggal di Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi berbagai hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-anekdot yang sepeninggal Nabi banyak diungkapkan penduduk Madinah.
 
Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu Hurairah dalam bidang hadis (tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal Quran secara sempurna. Selain itu, ia banyak menerima hadis langsung dari Nabi SAW, dari para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.
 
Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air pengetahuan menyangkut hadis yang banyak dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari Nabi atau bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi menyangkut tutur dan perbuatan Nabi. Ia kerap diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia juga saking berhati-hatinya ia menolak diminta ijtihadnya. Kecintaannya kepada Rasulullah, kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan Nabi, menjaga substansi ajaran sebagaimana dulu Nabi menyampaikannya, membuat Abdullah ibn Umar bersama Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi golongan yang kemudian disebut golongan sunni.
 
Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di antaranya ada masa-masa penuh pergolakan antar kelompok Islam. Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak berubah menjadi kasar dan pembalas.
 

Suatu ketika, Gubernur Mu'awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di masjid. Sang gubernur terkenal kejam dan fasik. Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di masjid itu.
 
Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan kesabaran Ibn Umar, tidak berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan tenang, Ibn Umar berdiri masih saat Gubernur Hajjaj masih di mimbar, dan berkata, "Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang diharamkan Allah. Engkau meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali Allah."
 
Al Hajjaj menyetop pidatonya. "Siapakah orang bicara tadi?"
 
Seseorang menjawab, itu Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj meneruskan pidatonya. "Diam, wahai orang yang sudah pikun."
 
Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya menikam Abdullah ibn Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan pisau beracun itu ke tubuh Abdullah ibn Umar yang lantas jatuh sakit. Di pembaringan, Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-Hajjaj beruluk salam, Ibn Umar tak menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan Abdullah ibn Umar tetapi Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.
 
Ibn Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab sebagaimana ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn Khattab hidup di suatu masa di mana banyak pula sahabat Rasulullah yang wara' dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa Abdullah ibn Umar mengatakan, zaman ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang sealim dan seteguh dia.
 
Menghindari Jabatan, Antikekerasan
Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi, sungguh suatu kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam. Kendati ia berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah.
 

Hasan r.a.
meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok umat Islam memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn Umar, "Anda adalah seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbai'at kepada anda."
 
Tapi Ibn Umar menyahut, "Demi Allah, seandainya bisa janganlah ada walau darah setetas tertumpah disebabkan daku."
 
Massa di luar mengancam. "Anda harus keluar. Atau, kalau tidak kami bunuh di tempat tidurmu."
 
Diancam begitu, Umar tak tergerak. Massa pun bubar.
 
Sampai suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn Umar mengajukan syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa paksaan. Jika bai'at dipaksakan sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan khalifah yang dicapai dengan cara semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi. Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah, saling mengangkat senjata pula. Ada yang kesal lantas menghardik Ibn Umar.
 
"Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali engkau."
 
"Kenapa? Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah dengan jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?" saut Ibn Umar heran.
 
"Seandanya kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang."
 
"Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak."
 
Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Meski demikian, saat ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibn Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II putera Yazid beberapa kali menduduki jabatan khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. "Ulurkan tangan Anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya."
 
"Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?"
 
"Kita gempur mereka sampai mau berbaiat."
 
"Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku yang tujuh puluh tahun ini, ada seorang manusia yang terbunuh disebabkan olehku."
 
Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.
"Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi perkasa."  Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn Yazid.
Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, "Siapa yang berkata 'Marilah salat', akan kupenuhi. Siapa yang berkata 'Marilah menuju kebahagiaan', akan kuturuti pula. Tetapi siapa yang mengatakan 'Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya' aku katakan: tidak!"
 
Ini bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih umat Islam berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah satunya.
 
Pernah, Abul 'Ali Al-Barra berada di belakang Ibn Umar tanpa sepengetahuannya. Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri, "Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan lalu berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh menyedihkan."
 
Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.
 
Meskipun pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar berkata, "Tiada sesuatu pun yang kusesalkan karena tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tak mendampingi Ali memerangi golongan pendurhaka."
 
Tapi kemudian, Ibn Umar tak mampu menyetop peperangan, sehigga ia menjauhi semuanya. Seseorang menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan pengikutnya kalau ia merasa Ali di pihak yang benar, Abdullah ibn Umar menjawab, "Karena Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim."
Lalu dibacanya Q.2:193,
perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu ikhlas semata-mata karena Allah.
Ibn Umar melanjutkan, "Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik hingga agama itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Aku sudah mulai berperang semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-sudutnya, hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan memerangi orang yang mengucapkan "laa ilaaha illallah"?
 
Selain mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu Umar, bapak sosiologi Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah mengkritisi Ibnu Umar. Menurutnya Abdullah bin Umar melarikan diri dari urusan kenegaraan karena sifatnya memang senang menghindar dari ikut campur dalam urusan apapun, baik yang boleh maupun yang terlarang.
 
Wallahu'alam
 
 
 
 
 
 

From: Hashim, Fasriana
Sent: Friday, June 14, 2013 8:21 AM
To: TemanHidup@yahoogroups.com
Cc: respeks_group@yahoogroups.com ; chainz_of_frenz@yahoogroups.com
Subject: RG2011... ABDULLAH IBN UMAR RA. - SAHABAT RASUL, SAHABAT MALAM

0 comments:

Post a Comment